Jangan Lewatkan Hukum Mengeluhkan Volume Suara Azan
Saat-saat ini publik ramai membahas perkara Meliana, penduduk Jalan Karya Lingkungan I, Tanjung Balai, Sumatera Selatan yg memprotes volume nada azan masjid di dekat tempat tinggalnya. Gak terlewatkan juga pro serta kontra berhubungan dengan perkara yg mengisap perhatian publik ini di berapa area, termasuk juga di area social media.
Dari sini muncul sejumlah pengakuan dari tokoh warga berhubungan dengannya. Perkara mirip pernah juga berlangsung di Aceh serta Tolikara.
Terputus dari beragam perkara itu muncul pertanyaan, “Apakah hukumnya memprotes terlampau kerasnya volume azan lewat pengeras nada? ”
Lihat Juga : doa setelah adzan dan artinya
Apabila menunjuk pada kitab-kitab Ahlussunah wal Jama’ah, bakal kita dapatkan hadits-hadits yg memang memberi anjuran azan dengan nada keras serta maksimum, sama seperti diriwayatkan :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ : أَنَّ أَبَا سَعِيدِ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لَهُ : إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الْغَنَمَ وَالْبَادِيَةَ. َ فَإذَا كُنْتَ فِي غَنَمِك -أَوْ بَادِيتِكَ- فَأَذَّنْتَ لِلصَّلاَةِفَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ، فَإنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ المُؤذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَومَ الْقِيَامَةِ. قَالَ أَبُو سَعِيدٍ : سَمِعْتُهُ مِنْ رَسولِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Mempunyai arti, “Diriwayatkan dari Abdullah bin Abdirrahman bin Abi Sha’sha’ah, kalau Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata padanya, ‘Sungguh saya melihatmu suka pada kambing serta daerah badui (pedalaman) . Karena itu apabila kamu tengah (mengembala) kambingmu atau tengah di daerah pedalamanmu terus azan buat shalat, karena itu keraskanlah nada azanmu. Dikarenakan, benar-benar tak lah jin, manusia, serta makhluk apa-pun yg dengar ujung nada muazin terkecuali bisa jadi saksi yg menguntungkan baginya dalam hari kiamat. ’ Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata, ‘Aku mendengarkannya dari Rasulullah SAW, ’ HR Al-Bukhari, ” (Lihat Muhamad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, [Beirut, Daru Ibni Katsir : 1407 H/1987 M], juz I, halaman 221) .
Tetapi, apa oleh karena ada hadits begini bermakna automatic memprotes terlampau kerasnya volume nada azan lewat mikrofon atau pengeras nada merupakan tak bisa?
Dalam menjawab pertanyaan sesuai ini sedikitnya butuh diperhitungkan berbagai hal seperti berikut :
Watak Basic Moderasi Agama Islam
Pertimbangan pertama merupakan watak basic moderasi agama Islam. Memang benar dalam agama Islam ada petunjuk buat mengeraskan nada azan serta mengoptimalkannya sama seperti sejarah Al-Bukhari diatas. Namun hadits itu belum juga memaparkan dengan cara jelas disaat dalam sebuah situasi volume azan lewat pengeras nada terlampau keras. Dalam skema ini mestinya pemanfaatan pengeras nada diukur sesuai sama kepentingan jamaah serta tak terlalu berlebih, sejalan firman Allah SWT :
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْواتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (لقمان : ١٩
Mempunyai arti, " Serta biasalah dalam berjalanmu (tidaklah terlalu cepat serta tidaklah terlalu lamban serta kurangilah volume suaramu (tak memaksakan diri buat terlampau keras, tetapi sesuai sama kebutuhannya) . Benar-benar nada yg sangat disangkal (sangat tidak baik) merupakan nada keledai (yg terlampau keras) , " (Surat Luqman ayat 19) .
Ayat ini dengan cara tegas memberikan watak basic moderasi agama Islam. Islam memberi anjuran orang buat berjalan dengan jalan yg tengah, tidaklah terlalu lamban atau terlampau cepat. Islam pun membimbing biar manusia mengontrol suaranya, ialah biar bersuara dengan nada yg tengah, tidaklah terlalu lambat serta tidaklah terlalu keras.
Nada yg telalu keras serta memekakkan telinga dipandang sebagai nada yg sekurangnya digemari seperti nada keledai. Kala memaparkan ayat ini ahli ijtihad berdarah Cordova, Imam Al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dalam tafsirnya mengemukakan :
لَا تَتَكَلَّفْ رَفْعَ الصَّوْتِ وَخُذْ مِنْهُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ. فَإِنَّ الْجَهْرَ بِأَكْثَرَ مِنَ الْحَاجَةِ تَكَلُّفٌ يُؤْذِي.
Mempunyai arti, “Janganlah memaksakan diri mengeraskan nada serta ambil nada sesuai sama kepentingan. Dikarenakan, mengeraskan nada melampaui kepentingan itu adalah upaya memaksakan diri yg menyakitkan. ”
Dalam kelanjutan pembicaraannya di ceritakan, Sayyidina Umar bin al Khatthab RA, Khalifah ke dua sehabis meninggal dunia Rasulullah SAW yg sangatlah kondang ketegasannya lantas sempat memberi salam muazin semasanya, ialah Abu Mahdzurah Samurah bin Mi'yar RA, yg azan dengan memaksakan nada sekeras-kerasnya. Penuh ketegasan Sayyidina Umar RA memberi salam muazin itu :
لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَنْشَقَّ مُرَيْطَاؤُكَ
Mempunyai arti, " Saya risau perut sisi pusar sampai (tempat tumbuh) rambut kemaluanmu bedah, " (Lihat Muhammad bin Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, [Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyyah : 1384 H/1964 M], juz XIV, halaman 71) .
Mungkin ada yg ajukan pertanyaan, “Bukankah kegalauan Sayyidina Umar RA ini berhubungan dengan sakit atau bahaya untuk muazin disaat memaksakan suaranya dengan cara sangatlah keras? Bukan berkenaan dengan bahaya yg menerpa orang-orang? ” Memang benar sepintas demikian. Namun, pesan khusus dari kejadian ini merupakan harusnya bahaya mesti dihindarkan baik untuk diri pribadi atau orang-orang, serasi dengan semangat sabda Rasulullah SAW
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ. حَسَنٌ
Mempunyai arti, “Tidak bisa menyakiti orang-orang serta tak bisa membalas menyakitinya, ” HR Ahmad serta Ibn Majah. Hasan. (Lihat Abdurrauf Al-Munawi, Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’us Shaghir, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah : 1415 H/1994 M], juz VI, halaman 566) .
Persentase Volume Azan
Pertimbangan ke dua berhubungan dengan persentase volume azan. Sesungguhnya dalam fiqih Islam, inti kesunnahan azan (ashlus sunnah) buat jamaah shalat udah tercukupi dengan mengeraskan nada azan sampai terdengar lebih dari satu orang jamaah yg bakal ikuti shalat. Berhubungan dengan masalah ini ahli fiqih Syafi’i asal Malabar India Selatan, Syekh Zainuddin Al-Malibari (w. 987 H/1579) memaparkan :
يُسَنُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالْأَذَانِ لِمُنْفَرِدٍ فَوْقَ مَا يُسْمِعُ نَفْسَهُ ولِمَنْ يُؤَذِّنُ لِجَمَاعَةٍ فَوْقَ مَا يُسْمِعُ وَاحِدًا مِنْهُمْ. . .
Mempunyai arti, “Disunnahkan mengeraskan nada azan untuk orang yg shalat sendirian diatas volume nada yang bisa memperdengarkan dirinya ; serta untuk orang yg azan buat jamaah diatas volume yang bisa memperdengarkan satu (1) orang dari mereka” (Lihat Zainuddin bin Abdil Aziz Al-Malibari, Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratil ‘Ain, [Beirut, Darul Fikr : tiada catatan tahun], juz I, halaman 238) .
Baca Juga : doa masuk masjid dan keluar masjid
Lantas dalam pembicaraannya diterangkan dengan cara lugas, kalau orang yg azan buat jamaah disunnahkan memperdengarkan azannya terhadap lebih dari satu orang calon jamaah. Sesaat memperdengarkan azan terhadap satu orang calon jamaah berubah menjadi ketentuan azan yg tak bisa dibiarkan. (Lihat Abu Bakr bin As-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’anah at-Thalibin, [Beirut, Darul Fikr : tiada catatan tahun], juz I, halaman 238) .
Oleh karena itu, memprotes terlampau kerasnya volume azan lewat pengeras nada bukan bermakna memprotes azan dengan cara keseluruhan, tetapi cuma bermakna memprotes persentase volumenya yg dalam tekhnis fiqih Islam bermakna batasi praktek kesunahan dengan cara maksimum yg pastinya bisa, sama seperti kecakapan seorang azan dengan volume dibawah nada optimalnya.
Dalam skema begini Imam Ahmad sempat tinggalkan shalat dua rakaat sebelum Maghrib walaupun dalam pandangannya hukum sesungguhnya merupakan sunnah. Mengapa dapat demikian? Tidak ada beda lantaran warga belum juga mendalami serta malahan mengingkarinya. Ahli hadits mazhab Hanbali asal Baitul Maqdis Palestina, Ibn Muflih Al-Maqdisi (708-763 H/1308-1362 M) memaparkan :
وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا
Mempunyai arti, “Imam Ahmad sempat tinggalkan shalat dua rakaat sebelum Maghrib lantaran warga mengingkarinya, ” (Lihat Abdullah Muhammad ibn Muflih Al-Maqdisi, Al-Adabus Syar’iyyah, [Beirut, Mu’assasatur Risalah : 1419 H/1999 M], cetakan ke-tiga, juz II, halaman 47) .
Faktor Sosial Kemasyarakatan
Pertimbangan ke-tiga, faktor sosial kemasyarakatan. Berhubungan dengan azan memanfaatkan pengeras nada, semestinya faktor sosial kemasyarakatan berubah menjadi pertimbangan yg sangat utama. Lebih dalam warga yg tidak sama kegiatan seperti di perkotaan yg mobilitasnya tinggi sekali serta butuh konsentrasi dalam kesibukan. Situasi orang sakit, balita serta lanjut usia yg butuh istirahat penuh ketenangan.
Keadaan situasi warga yg plural, tidak sama latar belakang agama, serta rutinitas istiadat pun perlu diperhitungkan. Semestinya beragam situasi ini sangat utama diperhitungkan jadi bentuk pemenuhan hak-hak dalam bertetangga, sejalan sabda Rasulullah SAW :
خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ الله خَيْرُهُم لِصَاحِبِهِ، وَخَيرُ الجِيرَان عِنْدَ الله خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ. حم ت ك عَنِ ابْنِ عُمَرَو. إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ
Mempunyai arti, “Teman terpilih disamping Allah merupakan orang terpilih untuk temannya serta tetangga terpilih disamping Allah merupakan orang terpilih untuk tetanggnya, ” HR Ahmad dalam Al-Musnad, At-Tirmidzi, serta Al-Hakim. Sanadnya sahih, ” (Lihat Abdurrauf Al-Munawi, At-Taisir bi Syarhil Jami’is Shaghir, [Riyadh, Maktabah Al-Imam As-Syafi’i : 1408 H/1988 M], cetakan ke-tiga, juz I, halaman 1065) .
Lebih berhubungan dengan non-Muslim, dimana azas interaksi pada Muslim serta non-Muslim bukan interaksi perseteruan, tetapi interaksi perdamaian serta hidup berdampingan dengan cara selaras. (Ketentuan Bahtsul Masail Maudlu’iyyah Konferwil PWNU Jawa Timur 15-16 Dzulqa’dah 1439 H/28-29 Juli 2018 terkait Kerukunan Antarumat Beragama dalam Kehidupan Berbangsa serta Bernegara) .
Dari sejumlah pertimbangan diatas sedikitnya bisa dimaklumi kalau memprotes terlampau kerasnya volume azan lewat pengeras nada merupakan bisa, dikarenakan bukan bermakna memprotes atau keberatan pada azan dengan cara keseluruhan, tetapi cuma bermakna memprotes persentase volumenya. Tetapi, aduan mesti diungkapkan dengan cara santun serta penuh peraturan dan jauh dari beberapa cara provokatif yg malahan bisa menyebabkan perseteruan ditengah warga. Dreemikian saran penulis.
Tidak hanya itu, semestinya ada beragam pertimbangan beda yg belum juga terkover dalam tulisan ini. Sama seperti tulisan menarik dari Zain bin Muhammad bin Husain Al-‘Idrus yg berjudul I’lamul Khash wal ‘Amm bi Anna Iz’ajan Nas bil Mikrofun Haram atau tulisan-tulisan yang lain. Oleh karena itu penulis mengharapkan, tinjauan gosip ini bisa diperdalam dalam beragam komunitas bahtsul masail, baik di pesantren yg miliki rekam jejak jelas berbahtsul masail, dalam bahtsul masail antarpesantren seperti Komunitas Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) se-Jawa Madura serta bahtsul masail NU di berapa level, hingga membuahkan simpulan hukum yang bisa dipertanggungjawabkan dan menurut kajian yg menyeluruh. Wallahu a’lam. (Ahmad Muntaha AM, Wakil Sekretaris PW LBM NU Jawa Timur)
Dari sini muncul sejumlah pengakuan dari tokoh warga berhubungan dengannya. Perkara mirip pernah juga berlangsung di Aceh serta Tolikara.
Terputus dari beragam perkara itu muncul pertanyaan, “Apakah hukumnya memprotes terlampau kerasnya volume azan lewat pengeras nada? ”
Lihat Juga : doa setelah adzan dan artinya
Apabila menunjuk pada kitab-kitab Ahlussunah wal Jama’ah, bakal kita dapatkan hadits-hadits yg memang memberi anjuran azan dengan nada keras serta maksimum, sama seperti diriwayatkan :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ : أَنَّ أَبَا سَعِيدِ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لَهُ : إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الْغَنَمَ وَالْبَادِيَةَ. َ فَإذَا كُنْتَ فِي غَنَمِك -أَوْ بَادِيتِكَ- فَأَذَّنْتَ لِلصَّلاَةِفَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ، فَإنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ المُؤذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَومَ الْقِيَامَةِ. قَالَ أَبُو سَعِيدٍ : سَمِعْتُهُ مِنْ رَسولِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Mempunyai arti, “Diriwayatkan dari Abdullah bin Abdirrahman bin Abi Sha’sha’ah, kalau Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata padanya, ‘Sungguh saya melihatmu suka pada kambing serta daerah badui (pedalaman) . Karena itu apabila kamu tengah (mengembala) kambingmu atau tengah di daerah pedalamanmu terus azan buat shalat, karena itu keraskanlah nada azanmu. Dikarenakan, benar-benar tak lah jin, manusia, serta makhluk apa-pun yg dengar ujung nada muazin terkecuali bisa jadi saksi yg menguntungkan baginya dalam hari kiamat. ’ Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata, ‘Aku mendengarkannya dari Rasulullah SAW, ’ HR Al-Bukhari, ” (Lihat Muhamad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, [Beirut, Daru Ibni Katsir : 1407 H/1987 M], juz I, halaman 221) .
Tetapi, apa oleh karena ada hadits begini bermakna automatic memprotes terlampau kerasnya volume nada azan lewat mikrofon atau pengeras nada merupakan tak bisa?
Dalam menjawab pertanyaan sesuai ini sedikitnya butuh diperhitungkan berbagai hal seperti berikut :
Watak Basic Moderasi Agama Islam
Pertimbangan pertama merupakan watak basic moderasi agama Islam. Memang benar dalam agama Islam ada petunjuk buat mengeraskan nada azan serta mengoptimalkannya sama seperti sejarah Al-Bukhari diatas. Namun hadits itu belum juga memaparkan dengan cara jelas disaat dalam sebuah situasi volume azan lewat pengeras nada terlampau keras. Dalam skema ini mestinya pemanfaatan pengeras nada diukur sesuai sama kepentingan jamaah serta tak terlalu berlebih, sejalan firman Allah SWT :
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْواتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (لقمان : ١٩
Mempunyai arti, " Serta biasalah dalam berjalanmu (tidaklah terlalu cepat serta tidaklah terlalu lamban serta kurangilah volume suaramu (tak memaksakan diri buat terlampau keras, tetapi sesuai sama kebutuhannya) . Benar-benar nada yg sangat disangkal (sangat tidak baik) merupakan nada keledai (yg terlampau keras) , " (Surat Luqman ayat 19) .
Ayat ini dengan cara tegas memberikan watak basic moderasi agama Islam. Islam memberi anjuran orang buat berjalan dengan jalan yg tengah, tidaklah terlalu lamban atau terlampau cepat. Islam pun membimbing biar manusia mengontrol suaranya, ialah biar bersuara dengan nada yg tengah, tidaklah terlalu lambat serta tidaklah terlalu keras.
Nada yg telalu keras serta memekakkan telinga dipandang sebagai nada yg sekurangnya digemari seperti nada keledai. Kala memaparkan ayat ini ahli ijtihad berdarah Cordova, Imam Al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dalam tafsirnya mengemukakan :
لَا تَتَكَلَّفْ رَفْعَ الصَّوْتِ وَخُذْ مِنْهُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ. فَإِنَّ الْجَهْرَ بِأَكْثَرَ مِنَ الْحَاجَةِ تَكَلُّفٌ يُؤْذِي.
Mempunyai arti, “Janganlah memaksakan diri mengeraskan nada serta ambil nada sesuai sama kepentingan. Dikarenakan, mengeraskan nada melampaui kepentingan itu adalah upaya memaksakan diri yg menyakitkan. ”
Dalam kelanjutan pembicaraannya di ceritakan, Sayyidina Umar bin al Khatthab RA, Khalifah ke dua sehabis meninggal dunia Rasulullah SAW yg sangatlah kondang ketegasannya lantas sempat memberi salam muazin semasanya, ialah Abu Mahdzurah Samurah bin Mi'yar RA, yg azan dengan memaksakan nada sekeras-kerasnya. Penuh ketegasan Sayyidina Umar RA memberi salam muazin itu :
لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَنْشَقَّ مُرَيْطَاؤُكَ
Mempunyai arti, " Saya risau perut sisi pusar sampai (tempat tumbuh) rambut kemaluanmu bedah, " (Lihat Muhammad bin Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, [Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyyah : 1384 H/1964 M], juz XIV, halaman 71) .
Mungkin ada yg ajukan pertanyaan, “Bukankah kegalauan Sayyidina Umar RA ini berhubungan dengan sakit atau bahaya untuk muazin disaat memaksakan suaranya dengan cara sangatlah keras? Bukan berkenaan dengan bahaya yg menerpa orang-orang? ” Memang benar sepintas demikian. Namun, pesan khusus dari kejadian ini merupakan harusnya bahaya mesti dihindarkan baik untuk diri pribadi atau orang-orang, serasi dengan semangat sabda Rasulullah SAW
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ. حَسَنٌ
Mempunyai arti, “Tidak bisa menyakiti orang-orang serta tak bisa membalas menyakitinya, ” HR Ahmad serta Ibn Majah. Hasan. (Lihat Abdurrauf Al-Munawi, Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’us Shaghir, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah : 1415 H/1994 M], juz VI, halaman 566) .
Persentase Volume Azan
Pertimbangan ke dua berhubungan dengan persentase volume azan. Sesungguhnya dalam fiqih Islam, inti kesunnahan azan (ashlus sunnah) buat jamaah shalat udah tercukupi dengan mengeraskan nada azan sampai terdengar lebih dari satu orang jamaah yg bakal ikuti shalat. Berhubungan dengan masalah ini ahli fiqih Syafi’i asal Malabar India Selatan, Syekh Zainuddin Al-Malibari (w. 987 H/1579) memaparkan :
يُسَنُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالْأَذَانِ لِمُنْفَرِدٍ فَوْقَ مَا يُسْمِعُ نَفْسَهُ ولِمَنْ يُؤَذِّنُ لِجَمَاعَةٍ فَوْقَ مَا يُسْمِعُ وَاحِدًا مِنْهُمْ. . .
Mempunyai arti, “Disunnahkan mengeraskan nada azan untuk orang yg shalat sendirian diatas volume nada yang bisa memperdengarkan dirinya ; serta untuk orang yg azan buat jamaah diatas volume yang bisa memperdengarkan satu (1) orang dari mereka” (Lihat Zainuddin bin Abdil Aziz Al-Malibari, Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratil ‘Ain, [Beirut, Darul Fikr : tiada catatan tahun], juz I, halaman 238) .
Baca Juga : doa masuk masjid dan keluar masjid
Lantas dalam pembicaraannya diterangkan dengan cara lugas, kalau orang yg azan buat jamaah disunnahkan memperdengarkan azannya terhadap lebih dari satu orang calon jamaah. Sesaat memperdengarkan azan terhadap satu orang calon jamaah berubah menjadi ketentuan azan yg tak bisa dibiarkan. (Lihat Abu Bakr bin As-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’anah at-Thalibin, [Beirut, Darul Fikr : tiada catatan tahun], juz I, halaman 238) .
Oleh karena itu, memprotes terlampau kerasnya volume azan lewat pengeras nada bukan bermakna memprotes azan dengan cara keseluruhan, tetapi cuma bermakna memprotes persentase volumenya yg dalam tekhnis fiqih Islam bermakna batasi praktek kesunahan dengan cara maksimum yg pastinya bisa, sama seperti kecakapan seorang azan dengan volume dibawah nada optimalnya.
Dalam skema begini Imam Ahmad sempat tinggalkan shalat dua rakaat sebelum Maghrib walaupun dalam pandangannya hukum sesungguhnya merupakan sunnah. Mengapa dapat demikian? Tidak ada beda lantaran warga belum juga mendalami serta malahan mengingkarinya. Ahli hadits mazhab Hanbali asal Baitul Maqdis Palestina, Ibn Muflih Al-Maqdisi (708-763 H/1308-1362 M) memaparkan :
وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا
Mempunyai arti, “Imam Ahmad sempat tinggalkan shalat dua rakaat sebelum Maghrib lantaran warga mengingkarinya, ” (Lihat Abdullah Muhammad ibn Muflih Al-Maqdisi, Al-Adabus Syar’iyyah, [Beirut, Mu’assasatur Risalah : 1419 H/1999 M], cetakan ke-tiga, juz II, halaman 47) .
Faktor Sosial Kemasyarakatan
Pertimbangan ke-tiga, faktor sosial kemasyarakatan. Berhubungan dengan azan memanfaatkan pengeras nada, semestinya faktor sosial kemasyarakatan berubah menjadi pertimbangan yg sangat utama. Lebih dalam warga yg tidak sama kegiatan seperti di perkotaan yg mobilitasnya tinggi sekali serta butuh konsentrasi dalam kesibukan. Situasi orang sakit, balita serta lanjut usia yg butuh istirahat penuh ketenangan.
Keadaan situasi warga yg plural, tidak sama latar belakang agama, serta rutinitas istiadat pun perlu diperhitungkan. Semestinya beragam situasi ini sangat utama diperhitungkan jadi bentuk pemenuhan hak-hak dalam bertetangga, sejalan sabda Rasulullah SAW :
خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ الله خَيْرُهُم لِصَاحِبِهِ، وَخَيرُ الجِيرَان عِنْدَ الله خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ. حم ت ك عَنِ ابْنِ عُمَرَو. إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ
Mempunyai arti, “Teman terpilih disamping Allah merupakan orang terpilih untuk temannya serta tetangga terpilih disamping Allah merupakan orang terpilih untuk tetanggnya, ” HR Ahmad dalam Al-Musnad, At-Tirmidzi, serta Al-Hakim. Sanadnya sahih, ” (Lihat Abdurrauf Al-Munawi, At-Taisir bi Syarhil Jami’is Shaghir, [Riyadh, Maktabah Al-Imam As-Syafi’i : 1408 H/1988 M], cetakan ke-tiga, juz I, halaman 1065) .
Lebih berhubungan dengan non-Muslim, dimana azas interaksi pada Muslim serta non-Muslim bukan interaksi perseteruan, tetapi interaksi perdamaian serta hidup berdampingan dengan cara selaras. (Ketentuan Bahtsul Masail Maudlu’iyyah Konferwil PWNU Jawa Timur 15-16 Dzulqa’dah 1439 H/28-29 Juli 2018 terkait Kerukunan Antarumat Beragama dalam Kehidupan Berbangsa serta Bernegara) .
Dari sejumlah pertimbangan diatas sedikitnya bisa dimaklumi kalau memprotes terlampau kerasnya volume azan lewat pengeras nada merupakan bisa, dikarenakan bukan bermakna memprotes atau keberatan pada azan dengan cara keseluruhan, tetapi cuma bermakna memprotes persentase volumenya. Tetapi, aduan mesti diungkapkan dengan cara santun serta penuh peraturan dan jauh dari beberapa cara provokatif yg malahan bisa menyebabkan perseteruan ditengah warga. Dreemikian saran penulis.
Tidak hanya itu, semestinya ada beragam pertimbangan beda yg belum juga terkover dalam tulisan ini. Sama seperti tulisan menarik dari Zain bin Muhammad bin Husain Al-‘Idrus yg berjudul I’lamul Khash wal ‘Amm bi Anna Iz’ajan Nas bil Mikrofun Haram atau tulisan-tulisan yang lain. Oleh karena itu penulis mengharapkan, tinjauan gosip ini bisa diperdalam dalam beragam komunitas bahtsul masail, baik di pesantren yg miliki rekam jejak jelas berbahtsul masail, dalam bahtsul masail antarpesantren seperti Komunitas Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) se-Jawa Madura serta bahtsul masail NU di berapa level, hingga membuahkan simpulan hukum yang bisa dipertanggungjawabkan dan menurut kajian yg menyeluruh. Wallahu a’lam. (Ahmad Muntaha AM, Wakil Sekretaris PW LBM NU Jawa Timur)
Komentar
Posting Komentar