Pakar Hukum Tata Negara Sebut Presiden Bisa Lakukan Ini
Undang-Undang Komisi Penumpasan Korupsi (KPK) hasil koreksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berubah menjadi masalah. Beberapa faksi mengkuatirkan sejumlah masalah dalam UU yg dianggap dapat lemahkan KPK. Menanggapi perihal itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang lakukan hitung pada sejumlah pilihan, seperti penerbitan Ketetapan pemerintah Substitusi Undang-Undang, meniti legislative kupasan ataupun judicial kupasan.
Tenaga pakar Kantor Staf Kepresidenan (KSP) , Ifdhal Kasim mengemukakan Perppu belum dapat dikeluarkan sebelum muncul prasyarat resmi ialah UU yg udah diundangkan serta udah punyai nomer pendaftaran jadi lembaran negara. Sekarang ini UU KPK hasil koreksi belum berlaku lantaran belum diundangkan serta belum masuk 30 hari sejak mulai disahkan di DPR.
" UU koreksi ini kan belum berubah menjadi UU lantaran ia belum diberi tanda tangan Presiden, serta ia belum masuk dalam lembaran negara serta ada nomornya. Ini dahulu yang wajib dipenuhi baru presiden dapat keluarkan bila memang pengin keluarkan Perppu, " katanya di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (5/10) .
Ahli Hukum Tata Negara Fahri Bachmid mengatakan, Presiden bisa menerbitkan Perppu seandainya ada situasi kritis. Menurut Fahri, situasi kritis atau state of emergency dengan cara konseptual situasi kritis didasarkan atas doktrin yg udah diketahui sudah lama, ialah prinsip ada kebutuhan atau prinsip necessity yg mengaku hak tiap-tiap negara yg berdaulat buat ambil beberapa langkah yg dibutuhkan buat perlindungan serta membela reliabilitas negara.
" Nah dengan cara doktrin/ajaran hukum tata negara kritis seperti tercantum di atas bisa dikualifisir berdasar pada prinsip actual threats? atau sedikitnya bahaya yg dengan cara mungkin benar mengintimidasi populasi kehidupan berbarengan potential threats? perihal yg demikian ini penting buat diidentifisir sesuai sama situasi rasional berdasar pada ajaran hukum/doktrin hukum tata negara kritis, " kata Fahri dalam info terdaftar, Senin (7/10) .
Menurut Fahri, dengan cara konstitusional pranata pemastian Perppu yaitu berdasarkan pada bagian berlangsungnya situasi kritis. Situasi yg kritis itu, lanjut Fahri, memaksakan presiden buat ambil perbuatan selekas mungkin atau ada kepentingan yg memaksa reasonable neccesity, dikarenakan apabila ketetapan yg dibutuhkan buat mengatasi keadaan kritis begitu tunggu prosedur yg umum pada DPR menghabiskan waktu panjang serta lama, perbuatan hukum yg diambil yaitu keluar batas dari proses baku dalam tertata penataan UU normal sesuai sama UU No. 12/2011 terkait Pembentukan Ketetapan Perundang-undangan.
Menurut Fahri, Presiden dikasih kekuasaan konstitusional buat menerbitkan Perppu dalam keadaan demikian, akan tetapi keputusan masalah 22 UUD NRI Tahun 1945 cuma mengedepankan pada anasir-anasir kegentingan yg memaksakan, ialah bagian reasonable neccesity serta kegentingan waktu.
" Nah berdasarkan pada situasi di atas, sekiranya disangkutkan dengan tuntutan pelbagai bagian penduduk biar presiden bisa ambil peraturan keluarkan Perppu yaitu tak searah dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme, serta miliki potensi membahayakan lembaga-lembaga demokrasi dan mengintimidasi kewibawaan presiden jadi 'The Sovereing Power' atau presiden bertindak sebagai The Sovereing Executif berdasar pada pemikiran hukum tata negara kritis, " makin Fahri.
Fahri mengemukakan berdasar pada penilaian Mahkamah Konstitusi, ratio decidendi (argumen ketetapan) dalam ketetapan nomer : 138/PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari 2010 ada tiga prasyarat konstitusional jadi ukuran situasi Kegentingan yg memaksakan untuk Presiden buat menerbitkan Perppu.
Pertama, ada situasi ialah kepentingan mendorong buat menuntaskan soal hukum dalam waktu cepat berdasar pada UU. Ke dua UU yg diperlukan itu belumlah ada sampai berlangsung kekosongan hukum, atau ada UU namun tak layak. Ke-tiga, kekosongan hukum itu tidak bisa diselesaikan lewat cara bikin UU dengan proses biasa, lantaran bakal menghabiskan waktu yg cukuplah lama dan situasi yg mendorong itu butuh keputusan buat diakhiri.
Menurut Fahri, MK berasumsi kalau penjelasan kegentingan yg memaksakan tak dimaknai sekedar cuma ada situasi bahaya sama seperti disebut oleh keputusan masalah 12 UUD NRI Tahun 1945, kalau memang benar situasi bahaya sama seperti disebut dalam etika masalah 12 bisa sebabkan proses pembentukan UU dengan cara biasa tidak bisa dilakukan, akan tetapi situasi bahaya tidaklah salah satu situasi yg sebabkan munculnya kegentingan yg memaksakan sama seperti disebut oleh rezim keputusan masalah 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Simak Juga : pengertiankata baku dan tidak baku
Fahri memperjelas instrumen pembentukan Perppu memang di tangan presiden serta berdasarkan pada penilaian subjektif presiden, akan tetapi bukan bermakna perihal itu kalau dengan cara absolut sebagai satu kekuasaan tiada batasan 'retriksi yuridis'. Akan tetapi penilaian subjektif presiden jadi kepala negara mutlak didasarkan terhadap situasi rasional dengan batasan konstitusional, ialah pada tiga prasyarat jadi dasar ada situasi kegentingan yg memaksakan sama seperti udah ditetapkan oleh ketetapan MK.
Mempunyai arti, Fahri memperjelas alasan-alasan sebagai penilaian presiden buat keluarkan Perppu biar lebih didasarkan pada situasi rasional negara serta bangsa yg tercermin dalam konsiderans menimbang dari Perppu yg terkait, serta bukan berdasar pada penilaian 'imanijer'.
Karena itu, kata Fahri, jadi pertanyaan asumsi yang bisa di ajukan dalam skema himpitan beberapa pihak spesifik sekarang ini terhadap presiden buat keluarkan Perppu pada hasil koreksi UU No. 30/2002 terkait KPK sebuah kepentingan hukum yg miliki derajat dan pembawaan kemendesakan sampai bisa dikualifisir jadi prasyarat materil kegentingan yg memaksakan? serta apa situasi sekarang ini udah searah dengan jiwa Ketetapan MK No. 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 yg menyatakan tiga prasyarat konstitusional buat presiden keluarkan Perppu?
" Dari pertanyaan itu sekiranya disangkutkan dengan situasi rasional negara serta bangsa sekarang ini, jadi bisa diartikan kalau langkah keluarkan Perppu yaitu tak penuhi prasyarat materil konstitusional, karena itu Presiden tidak bisa memanfaatkan kekuasaan eksklusifnya berdasar pada masalah 22 dalam keluarkan kebijakan mendorong 'Noodverordeningsrecht' dikarenakan tak searah dengan prinsip state emergency, " tukas Fahri.
Dalam keadaan itu, Fahri berasumsi langkah elok serta pas yaitu ajukan usaha konstitusional dengan judicial kupasan atas UU KPK yg baru disahkan itu ke MK. Apabila kelak UU itu udah diundangkan dalam lembaran negara sesuai sama UU No. 12 Tahun 2011 terkait Pembentukan Ketetapan Perundang-undangan, serta presiden harusnya tunggu ketetapan MK atas uji meteril itu biar semunya berubah menjadi jelas serta tertata dalam tatanan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara serta buat tegaknya demokrasi konstitusional.
Komentar
Posting Komentar