Jangan Lewatkan Jenis dan Pengertian Hukum Syariat
Kerapkali suatu makna kita gunakan dalam sehari-hari tiada kita pahami apa definisinya, termasuk juga dalam soal ini merupakan arti macam-macam hukum taklifi. Kita kenal kalau shalat lima waktu hukumnya mesti, namun kita tak memahami persis arti dari mesti tersebut apa.
Simak Juga : pengertian hukum islam
Kita memahami kalau hokum shalat tarawih itu sunah tiada menelaah apa sesungguhnya sunah itu. Jadi penambahan kabar, ulasan terkait keharusan shalat lima waktu serta kesunahan shalat tarawih yaitu lokasi tinjauan fiqih. Dan pendefinisian apa yang dimaksud mesti, sunah, dan sebagainya yaitu lokasi tinjauan ushul fiqih.
Sama seperti yg udah kita pahami, kalau hukum terdiri berubah menjadi dua, ialah taklifi serta wadl’i. Hukum taklifi merupakan khithab Allah yg terdapat pembebanan atau penyematan status hukum pada suatu aksi manusia. Dan hukum wadl’i lebih berwujud kabar yg dikasihkan oleh Allah terhadap kita terkait prasyarat, dikarenakan, maupun pencegah dari keterlaksanaan suatu hukum taklifi.
Imam Al-Haramain membagi ragam hukum taklifi berubah menjadi tujuh, ialah :
وَالْأَحْكَام سَبْعَة الْوَاجِب وَالْمَنْدُوب والمباح والمحظور وَالْمَكْرُوه وَالصَّحِيح وَالْبَاطِل فَالْوَاجِب مَا يُثَاب على فعله ويعاقب على تَركه وَالْمَنْدُوب مَا يُثَاب على فعله وَلَا يُعَاقب على تَركه والمباح مَا لَا يُثَاب على فعله وَلَا يُعَاقب على تَركه والمحظور مَا يُثَاب على تَركه ويعاقب على فعله وَالْمَكْرُوه مَا يُثَاب على تَركه وَلَا يُعَاقب على فعله وَالصَّحِيح مَا يتَعَلَّق بِهِ النّفُوذ ويعتد بِهِ وَالْبَاطِل مَا لَا يتَعَلَّق بِهِ النّفُوذ وَلَا يعْتد بِهِ
Mempunyai arti, “Hukum ada tujuh, ialah mesti, sunah, mubah, mahdzur (haram) , makruh, sahih, serta gagal. Mesti merupakan aksi yg dikasih pahala apabila diselesaikan, disiksa apabila dibiarkan. Sunah yaitu aksi yg dikasih pahala apabila diselesaikan, akan tetapi tak disiksa apabila dibiarkan. Mubah merupakan aksi yg tak dikasih pahala apabila diselesaikan, serta tak disiksa apabila dibiarkan. Mahdzur merupakan aksi yg dikasih siksa apabila diselesaikan serta dikasih pahala apabila dibiarkan. Makruh merupakan aksi yg dikasih pahala apabila dibiarkan, akan tetapi tak disiksa apabila dilaksanakan. Sahih merupakan situasi yg berkenaan dengan kelangsungan atau keteranggapan. Gagal merupakan situasi yg tak berkenaan dengan kelangsungan atau keteranggapan, ” (Lihat Imam Al-Haramain, Al-Waraqat, Surabaya, Al-Hidayah, 1990 M, halaman 3) .
Dari keterangan Imam Haramain diatas, dapat kita kenali kalau mesti yaitu aksi yg apabila dilaksanakan bakal dikasih pahala, sekiranya dibiarkan bakal dapatkan siksa. Hukum mesti dijalankan apabila ada perintah syariat yg mutlak, seperti perintah shalat lima waktu sama seperti dalam Surat Al-Baqarah ayat 43 :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Mempunyai arti, “Dirikanlah shalat, serta tunaikanlah zakat, serta shalat (rukuk) -lah berbarengan beberapa orang yg shalat. ”
Artikel Terkait : makna pancasila sebagai dasar negara
Perintah buat dirikan shalat itu mutlak ada. Tak ada teks lain yg menghentikan kemutlakannya sampai dari perintah itu menyebabkan hukum mesti.
Sunah merupakan aksi yg seandainya dilaksanakan dapatkan pahala, akan tetapi apabila tak dilaksanakan tak dapatkan siksa. Hukum sunah ini muncul dari suatu perintah yg sifatnya tak mutlak. Perumpamaannya dapat kita lihat penggambarannya dalam pensyariatan shalat tarawih dimana dalam suatu malam Nabi SAW pergi ke masjid serta mengerjakan shalat tarawih, begitu juga saat malam seterusnya. Akan tetapi, saat malam ke-tiga walaupun udah ditunggui oleh banyak kawan akrab, Nabi tak pergi ke masjid. Teladan nabi saat malam pertama serta ke dua sebagai perintah akan tetapi perintah itu gagal kemutlakannya saat malam yg ke-tiga. Perintah yg tak mutlak sejenis berikut ini yg menghasilkan hukum sunah.
Mubah merupakan status buat aksi yg dilaksanakan atau mungkin tidak, tak berhubungan dengan pahala serta siksa. Hukum mubah ini muncul salah satunya dari pengakuan syariah yg memberi isyarat kebebasan untuk manusia, seperti Surat Al-Baqarah ayat 57 :
كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
Mempunyai arti, “Makanlah kalian semua dari perihal yg baik yg udah Kami kasih rizki pada kalian. ”
Kata “makanlah” diatas tidaklah perintah, namun pengakuan kalau manusia bebas menggunakan apa pun yg baik untuk diri mereka. Apabila disaksikan dari sisi pandang lainnya, sesungguhnya hukum mubah ini tidaklah sisi dari hukum taklif, lantaran sifatnya tidaklah tuntut cuma bebaskan. Tetapi, mubah ini dapat miliki potensi buat berganti status hukumnya apabila ada bagian lain, seperti apabila tak makan dapat menyebabkan kematian, jadi makan berubah menjadi mesti. Apabila makan diniati buat dapatkan kapabilitas ibadah, jadi berubah menjadi sunah. Apabila makan terlalu berlebih, jadi berubah menjadi makruh, dan lain-lain.
Mahdzur (terlarang) atau haram merupakan aksi yg seandainya dilaksanakan bakal dapatkan dosa, seandainya dibiarkan bakal dapatkan pahala. Hukum haram ini muncul dari larangan yg sifatnya mutlak, seperti Surat Al-Isra ayat 32 :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Mempunyai arti, “Janganlah kalian mendekati zina, (lantaran) kenyataannya zina itu kotor serta seburuk-buruknya jalan. ”
Larangan itu sifatnya mutlak semata sampai timbullah hukum haram lantaran tak ada yg menghentikan kemutlakannya.
Makruh merupakan aksi yg seandainya dibiarkan bakal dapatkan pahala, akan tetapi seandainya dilaksanakan akan tidak dapatkan siksa. Hukum makruh ini datang dari larangan yg sifatnya tak mutlak. Perumpamaannya larangan Nabi Muhammad SAW berkenaan shalat di ruangan yg biasa dilintasi oleh kawanan unta. Larangan ini sifatnya tak mutlak lantaran tidaklah shalatnya tersebut yg dilarang oleh Rasulullah, akan tetapi kemampuan cemas terinjak unta yg menyebabkan larangan itu.
Butuh dimengerti kalau tinggalkan keharaman atau tinggalkan kemakruhan cuma bakal dapatkan pahala bila umpamanya dilaksanakan atas basic ketakwaan. Mungkin kita tinggalkan zina lantaran takut istri, atau mungkin tidak merokok lantaran takut sakit. Salah satu ketakutan yg diantisipasi dalam soal ini merupakan ketakutan terhadap Allah SWT.
Sahih, apabila dalam muamalah merupakan situasi disaat kegunaan suatu akad dapat diberlangsungkan. Perumpamaannya akad jual beli resmi, bermakna kegunaan akad itu dapat diberlangsungkan. Konsumen dapatkan kegunaan berwujud peralihan pemilikan barang pada dirinya sendiri, serta penjual dapatkan kegunaan berwujud harga yg dibayarkan. Apabila dalam beribadah, resmi bermakna keteranggapan. Shalat seorang resmi, bermakna shalat itu dikira dihadapan syariat, serta tak usah ulangi .
Gagal merupakan situasi yg terbalik dari sahih.
Sesungguhnya ada satu hukum yg lewatkan dikupas oleh Imam Haramain, ialah khilaful aula, akan tetapi mungkin lantaran khilaf aula ini cuma sebagai resiko serta tak berdasar pada teks syariah sampai tak dimasukkan ke hukum.
Info terkait khilaful aula ini dapat kita baca pada pemaparan Syekh Jalaluddin Al-Mahalli dalam kitab Syarh Jam’ul Jawami’ :
فَإِنَّ الْأَمْرَ بِالشَّيْءِ يُفِيدُ النَّهْيَ عَنْ تَرْكِهِ (فَخِلَافُ الْأَوْلَى
Mempunyai arti, “Maka kenyataannya perintah melaksanakan suatu hal berarti larangan buat meninggalkannya. Berikut ini khilaful aula, ” (Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, Syarh Jam’ul Jawami’, Surabaya, Al-Hidayah, 2000 M, juz I, halaman 114) .
Khilaful aula ini tak punyai kaidah spesifik. Dia cuma sebagai situasi mengabaikan keutamaan seperti seorang yg terjaga di larut malam namun tak mengerjakan shalat tahajud. Walaupun sebenarnya dia paham kesunahan shalat tahajud. Wallahu a’lam.
Simak Juga : pengertian hukum islam
Kita memahami kalau hokum shalat tarawih itu sunah tiada menelaah apa sesungguhnya sunah itu. Jadi penambahan kabar, ulasan terkait keharusan shalat lima waktu serta kesunahan shalat tarawih yaitu lokasi tinjauan fiqih. Dan pendefinisian apa yang dimaksud mesti, sunah, dan sebagainya yaitu lokasi tinjauan ushul fiqih.
Sama seperti yg udah kita pahami, kalau hukum terdiri berubah menjadi dua, ialah taklifi serta wadl’i. Hukum taklifi merupakan khithab Allah yg terdapat pembebanan atau penyematan status hukum pada suatu aksi manusia. Dan hukum wadl’i lebih berwujud kabar yg dikasihkan oleh Allah terhadap kita terkait prasyarat, dikarenakan, maupun pencegah dari keterlaksanaan suatu hukum taklifi.
Imam Al-Haramain membagi ragam hukum taklifi berubah menjadi tujuh, ialah :
وَالْأَحْكَام سَبْعَة الْوَاجِب وَالْمَنْدُوب والمباح والمحظور وَالْمَكْرُوه وَالصَّحِيح وَالْبَاطِل فَالْوَاجِب مَا يُثَاب على فعله ويعاقب على تَركه وَالْمَنْدُوب مَا يُثَاب على فعله وَلَا يُعَاقب على تَركه والمباح مَا لَا يُثَاب على فعله وَلَا يُعَاقب على تَركه والمحظور مَا يُثَاب على تَركه ويعاقب على فعله وَالْمَكْرُوه مَا يُثَاب على تَركه وَلَا يُعَاقب على فعله وَالصَّحِيح مَا يتَعَلَّق بِهِ النّفُوذ ويعتد بِهِ وَالْبَاطِل مَا لَا يتَعَلَّق بِهِ النّفُوذ وَلَا يعْتد بِهِ
Mempunyai arti, “Hukum ada tujuh, ialah mesti, sunah, mubah, mahdzur (haram) , makruh, sahih, serta gagal. Mesti merupakan aksi yg dikasih pahala apabila diselesaikan, disiksa apabila dibiarkan. Sunah yaitu aksi yg dikasih pahala apabila diselesaikan, akan tetapi tak disiksa apabila dibiarkan. Mubah merupakan aksi yg tak dikasih pahala apabila diselesaikan, serta tak disiksa apabila dibiarkan. Mahdzur merupakan aksi yg dikasih siksa apabila diselesaikan serta dikasih pahala apabila dibiarkan. Makruh merupakan aksi yg dikasih pahala apabila dibiarkan, akan tetapi tak disiksa apabila dilaksanakan. Sahih merupakan situasi yg berkenaan dengan kelangsungan atau keteranggapan. Gagal merupakan situasi yg tak berkenaan dengan kelangsungan atau keteranggapan, ” (Lihat Imam Al-Haramain, Al-Waraqat, Surabaya, Al-Hidayah, 1990 M, halaman 3) .
Dari keterangan Imam Haramain diatas, dapat kita kenali kalau mesti yaitu aksi yg apabila dilaksanakan bakal dikasih pahala, sekiranya dibiarkan bakal dapatkan siksa. Hukum mesti dijalankan apabila ada perintah syariat yg mutlak, seperti perintah shalat lima waktu sama seperti dalam Surat Al-Baqarah ayat 43 :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Mempunyai arti, “Dirikanlah shalat, serta tunaikanlah zakat, serta shalat (rukuk) -lah berbarengan beberapa orang yg shalat. ”
Artikel Terkait : makna pancasila sebagai dasar negara
Perintah buat dirikan shalat itu mutlak ada. Tak ada teks lain yg menghentikan kemutlakannya sampai dari perintah itu menyebabkan hukum mesti.
Sunah merupakan aksi yg seandainya dilaksanakan dapatkan pahala, akan tetapi apabila tak dilaksanakan tak dapatkan siksa. Hukum sunah ini muncul dari suatu perintah yg sifatnya tak mutlak. Perumpamaannya dapat kita lihat penggambarannya dalam pensyariatan shalat tarawih dimana dalam suatu malam Nabi SAW pergi ke masjid serta mengerjakan shalat tarawih, begitu juga saat malam seterusnya. Akan tetapi, saat malam ke-tiga walaupun udah ditunggui oleh banyak kawan akrab, Nabi tak pergi ke masjid. Teladan nabi saat malam pertama serta ke dua sebagai perintah akan tetapi perintah itu gagal kemutlakannya saat malam yg ke-tiga. Perintah yg tak mutlak sejenis berikut ini yg menghasilkan hukum sunah.
Mubah merupakan status buat aksi yg dilaksanakan atau mungkin tidak, tak berhubungan dengan pahala serta siksa. Hukum mubah ini muncul salah satunya dari pengakuan syariah yg memberi isyarat kebebasan untuk manusia, seperti Surat Al-Baqarah ayat 57 :
كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
Mempunyai arti, “Makanlah kalian semua dari perihal yg baik yg udah Kami kasih rizki pada kalian. ”
Kata “makanlah” diatas tidaklah perintah, namun pengakuan kalau manusia bebas menggunakan apa pun yg baik untuk diri mereka. Apabila disaksikan dari sisi pandang lainnya, sesungguhnya hukum mubah ini tidaklah sisi dari hukum taklif, lantaran sifatnya tidaklah tuntut cuma bebaskan. Tetapi, mubah ini dapat miliki potensi buat berganti status hukumnya apabila ada bagian lain, seperti apabila tak makan dapat menyebabkan kematian, jadi makan berubah menjadi mesti. Apabila makan diniati buat dapatkan kapabilitas ibadah, jadi berubah menjadi sunah. Apabila makan terlalu berlebih, jadi berubah menjadi makruh, dan lain-lain.
Mahdzur (terlarang) atau haram merupakan aksi yg seandainya dilaksanakan bakal dapatkan dosa, seandainya dibiarkan bakal dapatkan pahala. Hukum haram ini muncul dari larangan yg sifatnya mutlak, seperti Surat Al-Isra ayat 32 :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Mempunyai arti, “Janganlah kalian mendekati zina, (lantaran) kenyataannya zina itu kotor serta seburuk-buruknya jalan. ”
Larangan itu sifatnya mutlak semata sampai timbullah hukum haram lantaran tak ada yg menghentikan kemutlakannya.
Makruh merupakan aksi yg seandainya dibiarkan bakal dapatkan pahala, akan tetapi seandainya dilaksanakan akan tidak dapatkan siksa. Hukum makruh ini datang dari larangan yg sifatnya tak mutlak. Perumpamaannya larangan Nabi Muhammad SAW berkenaan shalat di ruangan yg biasa dilintasi oleh kawanan unta. Larangan ini sifatnya tak mutlak lantaran tidaklah shalatnya tersebut yg dilarang oleh Rasulullah, akan tetapi kemampuan cemas terinjak unta yg menyebabkan larangan itu.
Butuh dimengerti kalau tinggalkan keharaman atau tinggalkan kemakruhan cuma bakal dapatkan pahala bila umpamanya dilaksanakan atas basic ketakwaan. Mungkin kita tinggalkan zina lantaran takut istri, atau mungkin tidak merokok lantaran takut sakit. Salah satu ketakutan yg diantisipasi dalam soal ini merupakan ketakutan terhadap Allah SWT.
Sahih, apabila dalam muamalah merupakan situasi disaat kegunaan suatu akad dapat diberlangsungkan. Perumpamaannya akad jual beli resmi, bermakna kegunaan akad itu dapat diberlangsungkan. Konsumen dapatkan kegunaan berwujud peralihan pemilikan barang pada dirinya sendiri, serta penjual dapatkan kegunaan berwujud harga yg dibayarkan. Apabila dalam beribadah, resmi bermakna keteranggapan. Shalat seorang resmi, bermakna shalat itu dikira dihadapan syariat, serta tak usah ulangi .
Gagal merupakan situasi yg terbalik dari sahih.
Sesungguhnya ada satu hukum yg lewatkan dikupas oleh Imam Haramain, ialah khilaful aula, akan tetapi mungkin lantaran khilaf aula ini cuma sebagai resiko serta tak berdasar pada teks syariah sampai tak dimasukkan ke hukum.
Info terkait khilaful aula ini dapat kita baca pada pemaparan Syekh Jalaluddin Al-Mahalli dalam kitab Syarh Jam’ul Jawami’ :
فَإِنَّ الْأَمْرَ بِالشَّيْءِ يُفِيدُ النَّهْيَ عَنْ تَرْكِهِ (فَخِلَافُ الْأَوْلَى
Mempunyai arti, “Maka kenyataannya perintah melaksanakan suatu hal berarti larangan buat meninggalkannya. Berikut ini khilaful aula, ” (Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, Syarh Jam’ul Jawami’, Surabaya, Al-Hidayah, 2000 M, juz I, halaman 114) .
Khilaful aula ini tak punyai kaidah spesifik. Dia cuma sebagai situasi mengabaikan keutamaan seperti seorang yg terjaga di larut malam namun tak mengerjakan shalat tahajud. Walaupun sebenarnya dia paham kesunahan shalat tahajud. Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar