Membaca Cerita Pendek Ada Tekniknya Loh
Dalam sejumlah minggu terakhir, saya terpesona pada sembarang cerpen yg dimuat di koran-koran hari Minggu. Hampir tiap-tiap malam saya buka websiteatau situs yg menampung kembali cerpen-cerpen koran serta membaca banyak cerpen yg berada pada sana. Itu pengalaman mendebarkan.
Jadi pembaca, saya berterima kasih terhadap situs serta situs itu. Atas mereka, saya dapat menemukannya cerpen-cerpen yg dimuat di berapa koran pada Minggu kapan lantas, baik Minggu tempo hari atau Minggu sepuluh tahun waktu lalu.
Baca juga : jenis paragraf
Kemewahan sesuai ini gak mungkin saya nikmati tiga puluh tahun yang kemarin disaat nafsu buat membaca serta menulis cerpen tengah berkobar-kobar. Pastinya yg sangat berkobar pada kala itu merupakan nafsu kirim cerpen ke mana-mana.
Buat nafsu paling akhir itu, saya untung punyai kawan yg rajin mencatat alamat kantor redaksi koran-koran di Indonesia. Dia dua tahun lebih tua serta, dengan wibawa seseorang senior terhadap remaja plonco, dalam suatu hari dia memberi kabar : “Putu Wijaya punyai niat kalau semua koran di Indonesia mesti sempat menampung cerpennya. ”
Saya menyalin semua alamat redaksi dari buku catatannya serta diam-diam mau seperti Putu Wijaya, namun itu impian yg muskil. Kecepatan menulis saya seperti gerak siput kebun. Sebab itu, saat ini, saya sesungguhnya lebih sukai membaca saja dibanding dengan menulis.
Lantaran membaca banyak cerpen tiap-tiap malam, kelanjutannnya saya berubah menjadi tahu bagaimana caranya membaca cepat cerpen-cerpen itu. Serta, buat mengamalkan prinsip mulia kalau hidup merupakan sama sama share perihal baik, saya mau memberikan bagaimana saya melaksanakannya. Tulisan ini dibikin memang buat maksud itu, yaitu share terhadap pembaca terkait tehnik membaca cepat cerpen-cerpen koran.
Ada empat soal utama yg dapat bikin anda menuntaskan tiap-tiap cerpen selekasnya mungkin.
Pertama, cermati nama pengarangnya. Butuh diingat kalau tiap-tiap pengarang, tidak tahu dia lahir di desa atau di kota, senantiasa punyai kekhasan sendiri. Untuk mereka laku pepatah tak ada satu lemur yg sama di muka bumi. Di antara dari kekhasan itu merupakan sebagaimana berikut :
Ada pengarang yg puas membaca karyanya sendiri serta bakal membaca berulang-kali cerpennya yg baru dimuat. Lazimnya dia membaca disaat tengah sendirian ; disaat tengah berbarengan teman-temannya, dia bakal lakukan perbuatan seakan-akan tak membaca betul-betul cerpen itu.
Ada pengarang yg memuji gagasan-gagasannya sendiri serta punyai obsesi berlebihan pada orisinalitas. Perihal masalah ini, ingatkanlah anekdot terkait Dr. Samuel Johnson serta anak muda yg mau berubah menjadi pengarang. Kata Johnson terhadap anak muda itu : “Saya menemukannya berbagai hal yg original serta bagus pada karanganmu. Persoalannya, sisi yg original tak bagus, serta sisi yg bagus tak original. ”
Ada pengarang yg suka meminta doa restu serta berikan warna baru dalam kesastraan dengan kegemarannya itu. Lewat kata beda, dia membawa perangai orang hajatan ke pergaulan sastra Indonesia : “Mohon doanya, ya…! ”
Serta ada pengarang yg puas membawa koran lama ke mana-mana. Dahulu, dalam suatu hari di bulan Mei 1990, saya tengah gentayangan sendirian di halaman universitas serta seseorang kawan tergopoh-gopoh mendekati saya serta bertanya : Baca Jawa Poshari Minggu ke-tiga bulan Maret?
Saya tak membacanya. Ibu kos cuma berlangganan koran Kedaulatan Rakyat.
“Ada peristiwa utama? ” bertanya saya.
Dia keluarkan dari tasnya koran Jawa Pos yg udah lusuh serta menyodorkan terhadap saya.
“Cerpen saya dimuat, ” ujarnya.
Dengan dalih mau dengar saran saya, dia memohon saya membaca cerpennya.
Model paling akhir berikut ini menurut saya yg sangat unik. Dia sukai menyimpan koran lama dalam tasnya serta bertanya terhadap kawan-kawan apa mereka membaca koran edisi dua bulan waktu lalu.
Jadi, dengan mendalami kekhasan semasing pengarang, anda dapat hendak memutuskan apa bakal membaca suatu cerpen hingga tuntas atau cukuplah membaca nama pengarangnya.
Ke dua, baca paragraf pertama serta lekas mengambil ketentuan. Apabila paragraf pertamanya tidak baik, yakinkan kalau narasi itu tak punyai peluang bagus. Paragraf pertama yg tidak baik mempunyai kandungan arti kalau si pengarang tidak mengerti bagaimana penulis bagus kerja.
Tiap-tiap pengarang yg bagus, anda kenal, bakal berlaga buat mengambil perhatian pembaca sejak mulai paragraf pertama, atau bahkan juga sejak mulai kalimat pertama. Seseorang pengarang yg tidak mengerti bagaimana bikin paragraf pertama, besar kemungkinan dia tidak mengerti bagaimana bikin paragraf ke dua, ke-tiga, dan lain-lain.
Simak yuk : pengertian teks deskripsi
Ke-tiga, cek dialognya. Sejumlah pengarang memanfaatkan dialog jadi alat buat berpidato atau berpetuah atau memberikan renungan-renungan hidup. Sejumlah yg beda menyangka kalau dialog mesti secerewet induk ayam yg tengah bertelur. Juga ada pengarang yg suka mengkritik lewat dialog lugu seperti dibawah berikut ini :
“Apa profesi anda? ”
“Saya seseorang pebisnis. ”
“Di sektor apakah? ”
“Di sektor apakah saja. Semua saya sikat. Semua saya keduk. Tak ada yg dapat menyudahi saya lantaran semua petinggi udah saya suap. ”
Ke-4, cermati berapakah banyak komentar yg dikasihkan buat cerpen itu. Saya tertarik pada cerpen-cerpen yg dapatkan banyak komentar. Pasnya, saya tertarik pada komentar banyak pembaca atas suatu cerpen.
Menurut saya, sisi sangat mendebarkan dari cerpen-cerpen yg saya baca di internet merupakan komentar pembaca atas cerpen-cerpen itu.
“Dalem banget…. ”
“Sarat bakal usul serta ditulis dengan gagasan yg unik. Mantap! ”
“Gak mesti gunakan bahasa njelimet serta aliran yg sulit untuk jadi suatu karya yg bagus. ”
“Ditulis dengan cara pakar, mengobok-obok emosi. ”
“Bagus bingit. Endingnya gak tersangka. ”
Seumpamanya anda cuma membaca komentar serta tak membaca cerpennya, mungkin anda bakal memikir kalau mereka tengah berikan komentar cerpen Anton Chekhov, Dostoevsky, Hemingway, Jhumpa Lahiri, atau Gabriel Garcia Marquez.
Tehnik sangat menyenangkan buat membaca cerpen yg dapatkan banyak komentar merupakan begini : Jangan sampai terburu-buru membaca cerpennya. Anda baca semua komentar lebih dahulu, kemudian baru cerpennya. Dengan langkah barusan, anda bakal dapatkan ketegangan di level maksimal.
Sekurangnya, itu yg saya alami. Hingga saat ini saya tetap deg-degan pada komentar “mengobok-obok emosi” serta “endingnya gak terduga”. Fikir saya, bagaimana mungkin ada orang mengijinkannya emosinya diobok-obok oleh narasi tidak baik atau takjub oleh endingyang kasar serta mengatakannya jadi endingyang gak tersangka?
Serta gak kalah menegangkan merupakan komentar “dalem banget”—rasanya seperti dengar orang berikan komentar sumur bor. Mungkin komentar itu muncul lantaran dialog-dialognya penuh petuah, atau cerpen itu memberikan renungan hidup atau ucapan-ucapan falsafi lewat mulut tokoh khusus : dia dapat seseorang pengemis atau tukang mi ayam atau penjual gorengan atau orang desa yg ada ke kota atau beragam model orang miskin yang lain.
Penulis Yusi Avianto Pareanom sempat ceritakan kalau dipuji oleh beberapa orang yg tak mengerti itu dapat menerbitkan perasaan aneh yg sukar diterangkan. Dia memberi contoh seseorang pembaca yg tertarik pada novel Raden Mandasia serta mengusahakan memajukan temannya buat membaca juga. Mereka sama sama berbalas komentar di Facebook. Buat menekankan temannya, orang itu mengemukakan :
“Bagus sekali ceritanya. ”
Temannya, yg Kedengarannya punyai trauma berat pada karya sastra, ajukan pertanyaan :
“Sastra, ya? ”
Si pendorong mengatakan :
“Tidak sastra-sastra benar-benar, kok. ”
Pastinya itu pujian yg menerbitkan perasaan aneh ; dia gak terjelaskan, sama dengan pengalaman ekstase banyak sufi.
Beberapa orang dari fakultas sastra mungkin dapat memaparkan interaksi pada begitu bagus ceritanya serta tak sastra-sastra benar-benar, atau suatu novel yg “tidak sastra-sastra amat” itu mempunyai arti “bagus sekali”. Saya fikir fakultas sastra dibuat salah satunya buat mendukung publik mendalami karya sastra dengan cara lebih baik, lewat teliti yg jernih pada karya-karya atau lewat kajian-kajian yg dapat menambah pengetahuan khalayak buat bikin penilaian.
Memang pembaca bisa memberikan komentar apakah saja serta punya hak meningkatkan hasrat pribadi pada bacaan yg mereka sukai, namun wawasan yg lebih baik tidak mustahil menjernihkan pikiran serta pikiran yg jernih tambah lebih bisa menambah hasrat. Saya sungguh-sungguh deg-degan dengan komentar “dalem banget” atau “mengobok-obok emosi” yg diperuntukan terhadap karya-karya semenjana—atau dalam bahasa para yg hebat : tidak baik saja belum juga
Jadi pembaca, saya berterima kasih terhadap situs serta situs itu. Atas mereka, saya dapat menemukannya cerpen-cerpen yg dimuat di berapa koran pada Minggu kapan lantas, baik Minggu tempo hari atau Minggu sepuluh tahun waktu lalu.
Baca juga : jenis paragraf
Kemewahan sesuai ini gak mungkin saya nikmati tiga puluh tahun yang kemarin disaat nafsu buat membaca serta menulis cerpen tengah berkobar-kobar. Pastinya yg sangat berkobar pada kala itu merupakan nafsu kirim cerpen ke mana-mana.
Buat nafsu paling akhir itu, saya untung punyai kawan yg rajin mencatat alamat kantor redaksi koran-koran di Indonesia. Dia dua tahun lebih tua serta, dengan wibawa seseorang senior terhadap remaja plonco, dalam suatu hari dia memberi kabar : “Putu Wijaya punyai niat kalau semua koran di Indonesia mesti sempat menampung cerpennya. ”
Saya menyalin semua alamat redaksi dari buku catatannya serta diam-diam mau seperti Putu Wijaya, namun itu impian yg muskil. Kecepatan menulis saya seperti gerak siput kebun. Sebab itu, saat ini, saya sesungguhnya lebih sukai membaca saja dibanding dengan menulis.
Lantaran membaca banyak cerpen tiap-tiap malam, kelanjutannnya saya berubah menjadi tahu bagaimana caranya membaca cepat cerpen-cerpen itu. Serta, buat mengamalkan prinsip mulia kalau hidup merupakan sama sama share perihal baik, saya mau memberikan bagaimana saya melaksanakannya. Tulisan ini dibikin memang buat maksud itu, yaitu share terhadap pembaca terkait tehnik membaca cepat cerpen-cerpen koran.
Ada empat soal utama yg dapat bikin anda menuntaskan tiap-tiap cerpen selekasnya mungkin.
Pertama, cermati nama pengarangnya. Butuh diingat kalau tiap-tiap pengarang, tidak tahu dia lahir di desa atau di kota, senantiasa punyai kekhasan sendiri. Untuk mereka laku pepatah tak ada satu lemur yg sama di muka bumi. Di antara dari kekhasan itu merupakan sebagaimana berikut :
Ada pengarang yg puas membaca karyanya sendiri serta bakal membaca berulang-kali cerpennya yg baru dimuat. Lazimnya dia membaca disaat tengah sendirian ; disaat tengah berbarengan teman-temannya, dia bakal lakukan perbuatan seakan-akan tak membaca betul-betul cerpen itu.
Ada pengarang yg memuji gagasan-gagasannya sendiri serta punyai obsesi berlebihan pada orisinalitas. Perihal masalah ini, ingatkanlah anekdot terkait Dr. Samuel Johnson serta anak muda yg mau berubah menjadi pengarang. Kata Johnson terhadap anak muda itu : “Saya menemukannya berbagai hal yg original serta bagus pada karanganmu. Persoalannya, sisi yg original tak bagus, serta sisi yg bagus tak original. ”
Ada pengarang yg suka meminta doa restu serta berikan warna baru dalam kesastraan dengan kegemarannya itu. Lewat kata beda, dia membawa perangai orang hajatan ke pergaulan sastra Indonesia : “Mohon doanya, ya…! ”
Serta ada pengarang yg puas membawa koran lama ke mana-mana. Dahulu, dalam suatu hari di bulan Mei 1990, saya tengah gentayangan sendirian di halaman universitas serta seseorang kawan tergopoh-gopoh mendekati saya serta bertanya : Baca Jawa Poshari Minggu ke-tiga bulan Maret?
Saya tak membacanya. Ibu kos cuma berlangganan koran Kedaulatan Rakyat.
“Ada peristiwa utama? ” bertanya saya.
Dia keluarkan dari tasnya koran Jawa Pos yg udah lusuh serta menyodorkan terhadap saya.
“Cerpen saya dimuat, ” ujarnya.
Dengan dalih mau dengar saran saya, dia memohon saya membaca cerpennya.
Model paling akhir berikut ini menurut saya yg sangat unik. Dia sukai menyimpan koran lama dalam tasnya serta bertanya terhadap kawan-kawan apa mereka membaca koran edisi dua bulan waktu lalu.
Jadi, dengan mendalami kekhasan semasing pengarang, anda dapat hendak memutuskan apa bakal membaca suatu cerpen hingga tuntas atau cukuplah membaca nama pengarangnya.
Ke dua, baca paragraf pertama serta lekas mengambil ketentuan. Apabila paragraf pertamanya tidak baik, yakinkan kalau narasi itu tak punyai peluang bagus. Paragraf pertama yg tidak baik mempunyai kandungan arti kalau si pengarang tidak mengerti bagaimana penulis bagus kerja.
Tiap-tiap pengarang yg bagus, anda kenal, bakal berlaga buat mengambil perhatian pembaca sejak mulai paragraf pertama, atau bahkan juga sejak mulai kalimat pertama. Seseorang pengarang yg tidak mengerti bagaimana bikin paragraf pertama, besar kemungkinan dia tidak mengerti bagaimana bikin paragraf ke dua, ke-tiga, dan lain-lain.
Simak yuk : pengertian teks deskripsi
Ke-tiga, cek dialognya. Sejumlah pengarang memanfaatkan dialog jadi alat buat berpidato atau berpetuah atau memberikan renungan-renungan hidup. Sejumlah yg beda menyangka kalau dialog mesti secerewet induk ayam yg tengah bertelur. Juga ada pengarang yg suka mengkritik lewat dialog lugu seperti dibawah berikut ini :
“Apa profesi anda? ”
“Saya seseorang pebisnis. ”
“Di sektor apakah? ”
“Di sektor apakah saja. Semua saya sikat. Semua saya keduk. Tak ada yg dapat menyudahi saya lantaran semua petinggi udah saya suap. ”
Ke-4, cermati berapakah banyak komentar yg dikasihkan buat cerpen itu. Saya tertarik pada cerpen-cerpen yg dapatkan banyak komentar. Pasnya, saya tertarik pada komentar banyak pembaca atas suatu cerpen.
Menurut saya, sisi sangat mendebarkan dari cerpen-cerpen yg saya baca di internet merupakan komentar pembaca atas cerpen-cerpen itu.
“Dalem banget…. ”
“Sarat bakal usul serta ditulis dengan gagasan yg unik. Mantap! ”
“Gak mesti gunakan bahasa njelimet serta aliran yg sulit untuk jadi suatu karya yg bagus. ”
“Ditulis dengan cara pakar, mengobok-obok emosi. ”
“Bagus bingit. Endingnya gak tersangka. ”
Seumpamanya anda cuma membaca komentar serta tak membaca cerpennya, mungkin anda bakal memikir kalau mereka tengah berikan komentar cerpen Anton Chekhov, Dostoevsky, Hemingway, Jhumpa Lahiri, atau Gabriel Garcia Marquez.
Tehnik sangat menyenangkan buat membaca cerpen yg dapatkan banyak komentar merupakan begini : Jangan sampai terburu-buru membaca cerpennya. Anda baca semua komentar lebih dahulu, kemudian baru cerpennya. Dengan langkah barusan, anda bakal dapatkan ketegangan di level maksimal.
Sekurangnya, itu yg saya alami. Hingga saat ini saya tetap deg-degan pada komentar “mengobok-obok emosi” serta “endingnya gak terduga”. Fikir saya, bagaimana mungkin ada orang mengijinkannya emosinya diobok-obok oleh narasi tidak baik atau takjub oleh endingyang kasar serta mengatakannya jadi endingyang gak tersangka?
Serta gak kalah menegangkan merupakan komentar “dalem banget”—rasanya seperti dengar orang berikan komentar sumur bor. Mungkin komentar itu muncul lantaran dialog-dialognya penuh petuah, atau cerpen itu memberikan renungan hidup atau ucapan-ucapan falsafi lewat mulut tokoh khusus : dia dapat seseorang pengemis atau tukang mi ayam atau penjual gorengan atau orang desa yg ada ke kota atau beragam model orang miskin yang lain.
Penulis Yusi Avianto Pareanom sempat ceritakan kalau dipuji oleh beberapa orang yg tak mengerti itu dapat menerbitkan perasaan aneh yg sukar diterangkan. Dia memberi contoh seseorang pembaca yg tertarik pada novel Raden Mandasia serta mengusahakan memajukan temannya buat membaca juga. Mereka sama sama berbalas komentar di Facebook. Buat menekankan temannya, orang itu mengemukakan :
“Bagus sekali ceritanya. ”
Temannya, yg Kedengarannya punyai trauma berat pada karya sastra, ajukan pertanyaan :
“Sastra, ya? ”
Si pendorong mengatakan :
“Tidak sastra-sastra benar-benar, kok. ”
Pastinya itu pujian yg menerbitkan perasaan aneh ; dia gak terjelaskan, sama dengan pengalaman ekstase banyak sufi.
Beberapa orang dari fakultas sastra mungkin dapat memaparkan interaksi pada begitu bagus ceritanya serta tak sastra-sastra benar-benar, atau suatu novel yg “tidak sastra-sastra amat” itu mempunyai arti “bagus sekali”. Saya fikir fakultas sastra dibuat salah satunya buat mendukung publik mendalami karya sastra dengan cara lebih baik, lewat teliti yg jernih pada karya-karya atau lewat kajian-kajian yg dapat menambah pengetahuan khalayak buat bikin penilaian.
Memang pembaca bisa memberikan komentar apakah saja serta punya hak meningkatkan hasrat pribadi pada bacaan yg mereka sukai, namun wawasan yg lebih baik tidak mustahil menjernihkan pikiran serta pikiran yg jernih tambah lebih bisa menambah hasrat. Saya sungguh-sungguh deg-degan dengan komentar “dalem banget” atau “mengobok-obok emosi” yg diperuntukan terhadap karya-karya semenjana—atau dalam bahasa para yg hebat : tidak baik saja belum juga
Komentar
Posting Komentar